Notification

×
iklan

Presiden dan DPR Belum Siap, MK Tunda Sidang Gugatan OJK Penyidik Tunggal

Jumat, 28 Juli 2023 | 00.48.00 WIB Last Updated 2023-07-28T07:03:37Z

 


Wakil Ketua MK, Saldi Isra (photo ist)


PenaRaja.com – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang gugatan Otoritas Jasa Keuangan adalah 'penyidik tunggal' sebagai mana diatur Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), Senin (24/7/2023) pagi, dengan agenda mendengarkan jawaban Presiden dan DPR.


Namun, MK menunda sidang karena Presiden belum siap memberikan jawaban dan DPR berhalangan hadir. Sidang akan dilanjutkan kembali pada Kamis (3/8/2023) depan.


Pemohon prinsipal didampingi pengacara saat sidang di MK pada Senin (24/7/2023) # photo ist 

Gugatan uji materiil beberapa Pasal UU Nomor 4 Tahun 2023 P2SK, yakni Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c, diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V) warga Kabupaten Bengkalis, dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI) warga Kabupaten Bengkalis. 


Namun, Majelis Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi 7 hakim anggota, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Wahiduddin Adams, Manahan MP Sitompul dan Panitera Pengganti Nurlidya Stephanny Hikmah, menunda sidang karena Presiden belum siap memberikan jawaban dan DPR berhalangan hadir.


“Jadi, DPR berhalangan hadir. Sementara Presiden masih belum selesai apa yang ingin disampaikan. Dan ini diingatkan kepada kuasa Presiden sekaligus kuasa DPR supaya segera mempersiapkan itu (jawaban), nanti dibilang pula Mahkamah menunda-nunda persidangan dan segala macam. Tolong ini diberikan perhatian khusus," tegas Wakil Ketua MK Saldi Isra.


"Oleh karena ini penting tidak hanya bagi Pemohon tetapi juga Mahkamah, maka penting bagi MK mendengar keterangan pembentuk undang-undang dalam hal ini Presiden dan DPR. Karena belum bisa memberikan keterangan sesuai dengan jadwal yang ditentukan, maka sidang ini ditunda, Kamis 3 Agustus 2023 pukul 11.00 WIB,” kata Saldi Isra sambil mengetok palu tanda sidang ditunda.


Pada sidang Senin pagi tersebut, para pemohon prinsipal didampingi kuasa hukum Dr. Muhammad Rullyandi, SH, MH, Ilhamsyah, SH, Endik Wahyudi, SH, MH. Dari pemerintah hadir Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Kementerian Keuangan Arief Wibisono, Kepala Biro Advokasi Kemenkeu Aloysius Yanis Dhaniarto. Pihak Terkait: (dari Kepolisian RI) Kombes Veris Septiansyah, Kombes Fidian S, Kombes Chandra, AKBP Vanda Rizano, dari OJK: Ceceh Harianto, Gabriella D. M. Harefa, Fernando Dairi dan Mika Simarmata.


Dalam gugatan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023, para pemohon (menggugat) menguji Pasal 8 Angka 21, Pasal 49 ayat (5) dan Pasal 8 Angka 21, Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK. Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.” Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”


Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023) bulan lalu, Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. 


Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan 'tunggal' tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).


Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif oleh OJK.


Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan 'tunggal' yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. 


Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.


Untuk itu, dalam petitum provisinya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 


Sementara itu, di halaman Gedung MK berkumpul puluhan orang korban gagal bayar dari asuransi Wana Artha Life. Para korban menggunakan Takeline Pejoeang Sendal Jepit vs Buronan Rp 15,9 triliun (Pemegang Saham pengendali Wana Artha Life) yang diduga buron ke luar negeri. (Rudi).




 

IKLAN TENGAH POSTINGAN
POS PEMERINTAH
iklan
iklan